Beranda | Artikel
Hukum Mengingkari Wajibnya Shalat
Minggu, 4 Februari 2024

MAKNA SHALAT, HUKUM DAN KEUTAMANNYA

Hukum orang yang mengingkari wajibnya shalat atau meninggalkannya:
Barangsiapa yang mengingkari wajibnya shalat maka ia telah kafir, begitu pula orang yang meninggalkannya karena meremehkan dan malas. Apabila ia tidak mengetahui hukumnya maka diajari, namun apabila dia mengetahui tentang wajibnya tetapi tetap meninggalkannya, maka ia disuruh bertaubat selama tiga hari, kalau menolak untuk taubat maka barulah dibunuh.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قال الله تعالى: فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ [التوبة/11]

Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. [At Taubah/9: 11]

عن جابر رضي الله عنه قال: سَمِعْتُ النَّبِيَّ- صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ: «إنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ، وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاةِ». أخرجه مسلم

Dari Jabir Radhiyallahu anhu berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya pembatas antara seseorang dengan syirik dan kufur adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim)[1].

عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي- صلى الله عليه وسلم- قال: «مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ». أخرجه البخاري

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwasanya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang menukar agamanya maka bunuhlah dia. (HR. Bukhari)[2].

Hukum-hukum yang berkaitan dengan orang yang mengingkari wajbnya shalat atau meninggalkannya:
Waktu hidup di dunia : tidak boleh menikah dengan wanita muslimah, perwaliannya gugur, hak mengasuh anak gugur, tidak mewarisi, hewan sembelihannya haram, tidak boleh masuk mekah dan tanah haram; karena ia telah kafir.

Apabila meninggal : dia tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalati, dan tidak dikuburkan di pekuburan orang Islam; karena ia tidak termasuk orang muslim, tidak dido’akan untuk mendapat rahmat, tidak diwarisi, dan dirinya kekal di neraka; karena telah kafir.

Barangsiapa yang meninggalkan shalat secara keseluruhan dimana ia tidak melakukannya sama sekali maka dia telah kafir, dan keluar dari agama Islam. Dan barangsiapa yang kadang-kadang meninggalkannya maka ia tidak kafir akan tetapi fasik, melakukan dosa besar, dan bermaksiat kepada Allah dan rasulNya.

Keutamaan menunggu shalat:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله- صلى الله عليه وسلم- قال: «لا يَزَالُ العَبْدُ فِي صَلاةٍ مَا كَانَ فِي مُصَلَّاهُ يَنْتَظِرُ الصَّلاةَ، وَتَقُولُ المَلائِكَةُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، حَتَّى يَنْصَرِفَ أَوْ يُحْدِثَ». متفق عليه

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Seorang hamba senantiasa dalam shalat selama ia berada di tempat shalatnya menunggu shalat, dan malaikat berkata: Ya Allah, ampunilah ia, Ya Allah, kasihilah ia, sehingga ia pergi atau berhadats. (Muttafaq alaih)[3].

Keutamaan menuju shalat berjamaah di masjid dalam keadaan suci.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله- صلى الله عليه وسلم-: «مَنْ تَطَهَّرَ فِي بِيْتِهِ، ثُمَّ مَشَى إلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ الله، لِيَقْضِي فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ الله، كَانَتْ خَطْوَتاهُ إحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيْئَةً، وَالأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً». أخرجه مسلم

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang bersuci di rumahnya, kemudian berjalan ke salah satu rumah Allah, untuk melaksanakan salah satu kewajibannya kepada Allah, maka salah satu langkahnya menghapuskan kesalahan, dan yang lain mengangkat derajatnya. (HR. Muslim)[4].

عن أبي أمامة رضي الله عنه أن رسول الله- صلى الله عليه وسلم- قال: «مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّراً إلَى صَلاةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الحَاجِّ المُحْرِم، وَمَنْ خَرَجَ إلَى تَسْبِيحِ الضُحَى لا يَنْصِبُهُ إلا إيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ المعْتَمِرِ، وَصَلاةٌ عَلَى أَثَرِ صَلاةٍ لا لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ في عِلِّيِّينَ». أخرجه أبو داود

Dari Abu Umamah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang keluar dari rumahnya menuju shalat fardhu dalam keadaan telah bersuci maka pahalanya seperti pahala orang yang haji dalam keadaan berihram, dan barangsiapa yang keluar untuk shalat dhuha di mana dirinya tidak mempunyai tujuan lain kecuali shalat tersebut, maka pahalanya sama seperti pahala orang yang umrah, dan orang yang melaksankan shalat setelah shalat yang lain di mana tidak ada perkataan sia-sia antara keduanya maka dia ditulis dalam golongan illiyyin. (HR. Abu Daud)[5].

Khusyu’ dalam Shalat.
Khusyu’ dalam shalat bisa dicapai dengan beberapa hal, di antaranya:

  1. Konsentrasi
  2. Memahami apa yang dibaca dan didengar.
  3. Ta’dzim (sikap mengagungkan), hal ini timbul dari dua hal: mengetahui keagungan dan kebesaran Allah, dan mengetahui kehinaan diri, sehingga melahirkan rasa rendah diri di sisi Allah dan khusyu’ kepadaNya.
  4. Haibah (takut), ini lebih tinggi dari ta’dzim, dan sikap ini terlahir setelah seseorang mengetahui kekuasaan Allah dan keagunganNya, dan lalainya hamba terhadap hak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  5. Raja’ (harapan), yaitu ia mengarap ridah Allah dari shalatnya.
  6. Haya’ (rasa malu), sikap ini terlahir dari mengetahui nikmat Allah, dan kelalaiannya terhadap hak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Menangis yang disyari’atkan
Menangisnya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dengan bersuara keras, akan tetapi matanya berlinang, dan di dadanya terdengar suara seperti suara panci yang sedang mendidih karena menangis.

Terkadang nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis karena takut kepada Allah, dan terkadang karena khawatir dan kasihan kepada umatnya, terkadang karena kasihan terhadap mayit, terkadang pula ketika mendengar bacaan Al-Qur’an, yaitu pada saat mendengar ayat yang mengandung janji dan ancaman, menyebut nikmat Allah, berita-berita tentang para nabi dan lain sebagainya.

Memelihara keutamaan yang berkaitan dengan ibadah, seperti khusyu’ dalam shalat misalnya, lebih penting daripada keutamaan yang berkaitan dengan tempatnya, maka janganlah shalat pada tempat yang mana rasa khusyu’ hilang padanya seperti tempat yang ramai dan sebagainya.

[Disalin dari مختصر الفقه الإسلامي   (Ringkasan Fiqih Islam Bab : Ibadah العبادات ) Penulis : Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri  Penerjemah Team Indonesia islamhouse.com : Eko Haryanto Abu Ziyad dan Mohammad Latif Lc. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2012 – 1433]
_______
Footnote
[1] Shahih Muslim no (82)
[2] Shahih Bukhari no (3017).
[3] HR. Bukhari no (167), dan Muslim no (649).
[4] HR. Muslim no (666)
[5] Hadits hasan riwayat Abu Daud no (558), Shahih sunan Abu Daud no (522). Lihat shahih at targhib dan tarhib no (315).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/97892-hukum-mengingkari-wajibnya-shalat.html